Subscribe:

Labels

Friday, April 15, 2011

Menggerakan Tradisi Nusantara

Tradisi Islam yang berkembang di Indonesia adalah perpaduan dengan tradisi Hindu Budha yang berkembang sebelum Islam datang. Islam Indonesia yang disebarkan oleh kalangan WaliSongo menjadi tradisi sebagai sarana untuk menyebarkan Islam, dan terbukti berhasil. Perjumpaan tradisi local dengan Islam pada akhirnya membentuk sintesis kebudayaan, dimana asal kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Hindu dan Budha, sementara Islam identik dengan keArab-an karena memang diturunkan di Arab. Sintesis kebudayaan inilah yang menyebabkan Islam Indonesia dengan tradisi local menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Islam tidak akan ada tanpa keberadaan tradisi local. Sementara tradisi juga tidak akan ada tanapa keberadaan Islam. Sintesis kebudayaan inilah yang mendorong kalang Ahlussunnah waljama’ah menjadikanya sebagai ‘Islam Indonesia’ bukan “Indonesia yang Islam”apalagi “Islam yang ke-Arab-an” . Penggabungan antara Islam dan kebudayaan lokal bukan hanya dilakukan oleh rakyat jelata, melainkan pada raja juga menikmati sinkretisme ini, seperti yang digmbarkan oleh Abdul Mu’im DZ.
Pada masa sultan Agung di Mataram memilki karya yang khas memadukan antara kalender Saka dengan kalender Hijriyah. Pada zaman kesultanan Surakarta-Yogyakarta, proses ini diteruskan oleh raja, ulama dan pujangga yang menghasiilakan berbagai kitababon, baik bidang agama maupun sastra.
Pada Diponegoro, sekitar tahun 1800-an, pesantren Tegalrejo Magelang, Pesantren Kedu, serta pesantren Tegalsari Ponorogo yang merupakan lembaga pendidikan bagi raja, ulama dan pujangga, tidak hanya mengajarkan kitab kuning seperti Ihya Ulumaddin (tasawuf), Tuhfah (Fiqih), Nasikhatul Muluk (etika politik) juga mengajarkan kitab Jawa kuno seperti babad Majapahit, Kakawin Arjuna wiwaha, dan serat Dewa Ruci. Bahkan serat Dewa Ruci yang ditulis oleh pujangga Majapahit itu menjadi kajian filsafat tasawuf dibeberapa pesantren Jawa, seperti pesantren Cabolek Kiai Mutamakin. Hal ini serupa juga terjadi diluar jawa juga menjadi kajian dibeberapa pesantren di Lombok.
Hal itu juga tidak terjadi di Jawa. Dikerajaan Aceh Darussalam ada ulalama besar, Syaikh Abdurrouf Sinkil. Beliau seorang ahli agama dan pujangga yang ahlii dalam kebudayaan local. Karena itu, ia bisa melakukan pribumisasi ajaran Islam dikerajaan Aceh zaman raja Dharma Wangsa (Sultan Iskandar Muda) 1607-1636. tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya syaikh Burhanudin Ulakan sebagai penganjur penting agma Islam di Sumatra Barat, yang berhasil memadukan antara adat dan syara’ yang disahkan dalam piagam bukti Marpalam (1650). Dipesantrenya Syaikh itu mengajarkan ilmu keIslaman murni seperti tafsir, hadist, fiqih, dan Tasawuf. Sementara diluar pesantren ia mengmbangkan tradisi local yang diisi dengan ruh Islam bersendikan madzhab Syafi’i
Perumusan ‘Islam Indonesia’ didasrakan beberapa hal:
·         Proses penyebaran Islam yang diwarnai dengan pelibatan kebudayaan- kebudayaan local
·         Tidak relevan lagi membicarakan Negara Islam, hal ini didasarkan pada beberapa maslahat dan sejarah kekhalifahan Islam, dimana pusat kekhalifahan Islam sudah berakhir pada masa Usmani di Turqi.
·         Islam dalah seperangkat nilai-nilai dan norma–norma yang bersifat universal, dimana mengutamakan substansi ajaran lebih baik dari pada tektualitas ajaran.
Ketiga rumusan Islam ‘Islam Indonesia’ ini menjadi modal dalam menjadikn Islam sebagai rohmatal lil’alamin, ‘menghormati dan mengasishi sesama’ meskipun berbeda latar agama.
Hasan Hanafi menjelaskan yang dimaksud dengan tradisi adalah pertama sesuatu yang ditranferesikan kepada kita, kedua sesuatu yang dipahamkan kepada kita, ketiga sesuatu yang mengarahkan perilaku kehidupan kita. Itu merupakan tiga lingkaran yang didalamnya suatu tradisi tertentu ditransformasikan menuju tradisi dinamis. Pada lingkaran pertama , tradisi mengakar kesadaran histories, pada lingkaran kedua menegakan kesadaran eidetic, dan pada lingkaran ketiga menegakan kesadaran praktis.
Sementara as-syatibi menjelaskan, tradisi yang berdasarkan syara’ yakni tradisi yang dibuat dalil syar’I atau dinafikanya, seperti apabila syara’ memerintahkanya, baik dalam wujud kebajikan, atau kesunatan atau melarangnya dalam wujud keharaman atau kemakruhan. Atau mengizinkan untuk melakukan meninggalkan. Tradisi yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat tapi syara’ tidak membuat ketetapan apapun, tidak melarang dan tidak menyuruh.
Tradisi yang membentuk Islam Indonesia pada selanjutnya dapat menjadi hokum , tentu tidak bertentangan dengan syari’at,seperti tradisi tahlilan, yang pada awalnya tradisi Hindu,dalam kaidah Ushul fiqih disebutkan:“al-‘adah Muhakkamah”, (adapt istiadat dapat dijadikan kaidah hukum).
“AL-Muhafadzah ‘ala al –qadimis solleh wa al akhdzu bi al jadidi al-aslah”(menjaga nilai-nilai tradisi lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai tradisi baru yang lebih baik”) NIlai-nilai dari tradisi lama bangsa Indonesia yang bisa diambil hikmahnya cukup banyak, misalnya soal kepentingan kolektif, banyaknya tradisi-tradisi yang mementingkan aspek kegotongroyongan, kolektivisme dan kesederhanaan,seperti tradisi kumpul-kumpul setelah kematian seseirang yang kemudian dirubah menjadi tradisi tahlilan, nilai yang terkandung didalamnya adalah sebagai sarana komuniksi antara warga, dimana didalamnya terdapat bermacam-macam kegiatan dari muali membaca do’a, berbagi maknanan, obrolan seputar kehidupan sehari-hari warga,dll.
Penerimaan dan penjagaan tradisi ini mendapat legitimasi kuat dari teks-teks agama, diaman agama begitu menghormati tradisi yang berlaku pada masyrakat local sampaisampai tradisi tersebut dapat diajdikan kaidah hukum.

0 comments:

Post a Comment

Chitika