Subscribe:

Labels

Wednesday, April 13, 2011

WAWASAN

erosi nasionalisme Indonesia disebabkan karena benerapa faktor, pertama karena rendahnya kualitas SDM. Hal ini karena kurangnya pemimpin yang kuat dan mampu menginspirasi para anggotanya agar bersedia memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negaranya, serta kualitas sektor pendidikan yang jauh tertinggal. Kedua adalah masalah militansi bangsa, dimana militansi itu sendiri adalah semangat yang tinggi atau keteguhan untuk berjuang menghadapi kesulitan, dan secara psikologis terkait di dalamnya faktor motivasi yang sangat kuat. Dan yang ketiga adalah jati diri yang masih labil. Hal ini membuat bangsa Indonesia dianggap sebagai bangsa yang masih dalam proses pencarian jati diri (a nation in waiting).
Ada 2 masalah mendasar yang hendak diungkapkan yaitu pertama, wawasan kebangsaan bagaimana yang dimaksudkan setiap kita peringati pada tanggal 20 Mei? Kedua adalah apakah konsep wawasan kebangsaan ini masih relevan tertanam ke dalam sanubari setiap warga negara yang notabene mengantongi KTP Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini kembali ke hati kita masing-masing. Bukannya hendak menihilkan segala teori-teori tentang keberadaan suatu kebangsaan ataupun teori-teori tata negara yang berkonsep idealis tetapi hati nurani kita yang merasakan dan menilai perjalanan hidup kita selama berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit dipahami.
Marilah kita berandai-andai bahwa Indonesia sebagai suatu Negara telah hadir pada tanggal 20 Mei 1908 tersebut. Umur ini pun masihlah relatif muda jika kita bandingkan dengan keberadaan berbagai suku bangsa yang telah ada di Nusantara sejak ribuan tahun lalu. Juga kita bandingkan dengan negara-negara besar yang ada di dunia seperti Rusia, China, Amerika dan yang lain-lain telah berdiri jauh sebelumnya. Dari berbagai sumber yang ada, Indonesia secara resmi baru berdiri secara de-jure sejak 17 Agustus 1945 tetapi secara de-facto, artinya melihat kepada sudut wilayah kekuasaannya masih belum jelas secara pasti batas-batasnya di mana dan luas wilayahnya. Kemudian melalui perjanjian Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 disepakati antara pihak Indonesia dan Belanda bahwa wilayah kekuasaan RI meliputi Sumatera, Jawa dan Madura dan selanjutnya RI bersama Belanda akan membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama RIS, yang salah satu Negara bagiannya adalah RI. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Setahun kemudian pada tanggal 17 Januari 1948 ditanda tangani kembali suatu perjanjian yaitu Perjanjian Renville. Dalam perjanjian ini disepakati kembali wilayah kekuasaan RI secara de-facto dan de-jure hanya sekitar daerah Yokyakarta saja. Perjanjian Renville ini ditandatangani oleh Perdana Menteri Mr.Amir Syarifuddin dari Kabinet Amir Syarifuddin disaksikan oleh HA Salim, Dr.Leimena, Mr.Ali Sastroamidjojo (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal 155,163).
Dengan demikian Indonesia sebagai bangsa yang sangat muda masih perlu mencari jejak atau pondasi yang kuat dalam memahami apa yang disebut wawasan kebangsaan. Paham kebangsaan berkembang dari waktu ke waktu dan berbeda dalam lingkungan masyarakat dengan lingkungan lainnya. Pun jika berbicara masalah geografis, wilayah kekuasaan RI pun senantiasa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan keadaan pada zamannya hingga kini terbentuklah wilayah kekuasaan Indonesia dari Sabang hingga Merauke dimana masih belum begitu jelas bagaimana proses penggabungan wilayah-wilayah ini, merujuk pada masa-masa awal berdirinya RI.
Wawasan kebangsaan pada masa Presiden Soeharto diinduksikan ke dalam setiap warga Negara Indonesia pada saat penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang ditetapkan melalui keputusan TAP MPR no.II tahun 1978 dalam bentuk 36 butir Pancasila. Sejak SMP hingga masuk perguruan tinggi setiap pelajar harus mengikuti penataran P4 dengan tujuan mulia agar nilai-nilai Pnacasila yang luhur itu dapat diresdapi kemudian diamalkan. Berbagai macam pola penataran dikenal dalam P4 seperti pola 10 jam, pola 100 jam, seminggu atau 2 minggu. Salah satu materi dalam penataran ini adalah memberikan pelajaran agar setiap warga Negara mempunyai paham kebangsaan yang seragam, sebangun dan berasal dari sumber yang sama yaitu pemerintah. Tidak boleh ada tafsir berbeda, bisa-bisa kita dicap pemberontak jika coba-coba menafsirkan berbeda walaupun secara kaidah ilmiah benar. Seingat kami, dalam penataran kita di doktrin untuk mengenal yang namanya Indonesia belaka. Kemajemukan wilayah Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa harus lebur dalam satu identitas yaitu hanya Indonesia. Umumnya kita terpengaruh dengan dogma-dogma kebangsaan seperti itu sehingga yakin dan ingin memperkukuh identitas kebangsaan Indonesia dalam praktek kehidupan sehari-hari seperti melupakan pemakaian bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari, tidak memasukan unsur kebudayaan lokal dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan dan masih banyak lagi yang lain.
Kini setelah era Soeharto berlalu maka sadarlah kita tentang wawasan kebangsaan itu. Kita bisa berdebat apa saja tentang definisi dan makna wawasan kebangsaan. Bahkan kita juga bisa mempertanyakan keabsahan berdirinya BO sebagai organisasi pertama bumi putera karena sebelumnya telah berdiri organisasi bumi putera lainnya yaitu Sarekat Islam. Dari sisi keabsahan ini saja sudah muncul kecurigaan terhadap pusat terhadap apa maksudnya mencantumkan hari lahir BO sebagai rujukan hari Kebangkitan Nasional. Belum lagi kalau kita mendebatkan tentang makna KEBANGSAAN itu sendiri.
Apakah yang dimaksud dengan bangsa adalah suatu bentuk negara semata? Kalaupun ini kita sepakati kita juga harus ingat hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia dibentuk dari berbagai rumpun suku bangsa. Membicarakan bangsa artinya kita juga wajib membicarakan rumpun-rumpun suku bangsa yang ada di dalamnya. Suku bangsa membentuk mozaik negara sehingga tampak indah, bervariasi, saling memperkaya dan melengkapi. Konsekuensi dari membicarakan suku bangsa kita membicarakan nasib suku bangsa itu juga. Apakah suku bangsa tertentu telah hidup layak dalam negara Indonesia yang sudah merdeka selama 61 tahun. Atau jangan-jangan setelah bernaung dalam Negara kesatuan Indonesia dan mendapat kuliah wawasan kebangsaan berhari-hari ternyata kehidupan tidak membaik juga malah cenderung memburuk, ditandai dengan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar air, listrik, pendidikan dan kesehatan saja tidak mampu.
Pusat umumnya dikenal sebagai daerah pulau Jawa sedangkan "daerah" lebih dikenal sebagai daerah-daerah di luar pulau Jawa. Pembagian sederhana ini hanya berdasarkan persepsi bahwa apa yang terjadi di pulau Jawa terutama di Jakarta dianggap merupakan dinamika yang terjadi di pusat. Berita-berita tentang peristiwa politik di Jawa, bencana di Pulau Jawa, kerusuhan dan sebagainya biasanya akan dianggap sebagai sesuatu yang datang dari pusat. Bagi mereka yang menguasai isu-isu daerah pulau Jawa maka dapat mengklaim dirinya sebagai pengamat nasional, barangkali lantaran pendapat-pendapat mereka dimuat di media nasional. Ini bukanlah upaya mempertentangkan antara pulau Jawa dan pulau lain namun semata-mata membicarakan realita yang berkembang minimal di daerah. Dalam konteks penyebaran informasi demikian juga yang terjadi. Semua berita-berita dari pulau Jawa dengan mudah mengalir ke daerah-daerah bahkan daerah terpencil sekalipun, memakai parabola misalnya. Perusahaan-perusahaan nasional pun berbasis di pulau Jawa walau mencari makan di daerah. Tidak ketinggalan juga pemerintah pusat tetap mempertahankan kekuasaannya yang mulai di perkecil dalam otonomi daerah, ke tingkat provinsi. Untuk yang satu ini kasus Aceh dapat dijadikan pelajaran dimana Aceh yang sudah berwenang mengatur pemerintahannya sendiri sesuai dengan MoU Helsinki ternyata wewenangnya tetap sama seperti provinsi yang lain. Hal ini terlihat dari draft Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan yang disusun oleh mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra
Namun lihatlah sebaliknya. Berbagai peristiwa politik, bencana, kerusuhan bahkan informasi yang datang dari daerah biasanya akan dianggap sebagai peristiwa "daerah" belaka dan jika ada orang yang menguasai isu-isu ini maka akan disebut sebagai pengamat lokal. Ketimpangan-ketimpangan inilah menjadi salah satu pemicu disharmonisasi antara pusat dan daerah sehingga membuat kita harus merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan wawasan kebangsaan.
Wawasan kebangsaan dalam prakteknya seharusnya bersifat setara antara satu daerah dengan daerah lain. Daerah yang juga merupakan penyusun negara ini harus mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang dan mempunyai kemampuan untuk melayani masyarakatnya dengan layak. Kita tentu tidak ingin membuat semua daerah harus mempunyai keadaan atau situasi yang serba sama seperti suatu negara komunis yang sama rata-sama rasa. Minimal jurang yang terbentang antara daerah dan pusat tidak terlalu jauh seperti sekarang ini. Seorang anak bangsa tidak akan nyaman berbicara tentang wawasan kebangsaan jikalau melihat bangsanya sendiri hidup serba keterbatasan padahal di daerah lain yang diklaim sebagai daerah pusat segala fasilitas tersedia. Nikmatkah kita berbicara tentang wawasan kebangsaan pada seorang penduduk kampong yang harus setiap hari menyeberangi sungai dengan rakit padahal di daerah lain ada jembatan yang tidak ada sungai yaitu jalan layang. Padahal sama-sama bangsa Indonesia
Ada satu hal menarik tentang paham kebangsaan di antara Bapak pendiri Indonesia. Mohammad Hatta pernah mengatakan bahwa sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal, persamaan bahasa dan persamaan agama. Menurut Hatta kembali, "bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak" (Mohammad Hatta; beberapa pokok pikiran; Jakarta UI-Press, 1992). Pemahaman ini terasa pas saat melihat situasi fatual berbagai daerah. Sepertinya Hatta lebih jujur dalam memandang kebangsaan, tidak memanipulasi pikiran dan konsepnya relevan sepanjang masa.
Hari ini banyak pengamat nasional atau ahli wawasan kebangsaan yang mengeluhkan tentang wawasan kebangsaan yang mulai pudar di masyarakat. Banyak anak muda tidak hafal lagu Indonesia Raya, tidak tahu nama-nama pahlawan, suka meminta bantuan kepada bangsa asing, meminta otonomi lebih besar dan lain sebagainya, demikian katanya. Namun ini semua seharusnya sudah dapat ditebak akan terjadi mengingat perlakuan Negara terhadap warga. Merujuk kepada pernyataan bung Hatta bahwa adanya kesamaan nasib antara semua anak bangsa maka kita menyadari bahwa hal ini sudah tidak terdapat lagi di Indonesia. Jika hal ini dapat kita perkecil dan negara dapat melayani warganya sebaik mungkin, mudah-mudahan wawasan kebangsaan akan menguat kembali di hati sanubari.

0 comments:

Post a Comment

Chitika